Setia Mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
Bersama Pemateri :
Ustadz Abdullah Taslim
Setia Mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Taslim, M.A. dalam pembahasan Kitab Ar-Risalah At-Tabukiyyah karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah. Kajian ini disampaikan pada 5 Rabbi’ul Tsani 1440 H / 13 Desember 2018 M.
Status Program Kajian Kitab Ar-Risalah At-Tabukiyyah
Status program kajian kitab Ar-Risalah At-Tabukiyyah: AKTIF. Mari simak program kajian ilmiah ini di Radio Rodja 756AM dan Rodja TV setiap Kamis pagi, pukul 07:00 - 08:00 WIB.
Download juga kajian sebelumnya: Mengutamakan dan Mendahulukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Kajian Islam Ilmiah Tentang Setia Mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – Kitab Ar-Risalah At-Tabukiyyah
Imam Ibnul Qayyim membahas masalah ini dengan panjang lebar, karena banyak orang yang salah mengartikan hijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan mengaku mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tapi tidak mengamalkan konsekuensinya dengan benar seperti yang diterangkan didalam dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itulah kita akan tambahkan kembali penjelasan tentang masalah ini dari keterangan beliau setelah beberapa penjelasan dipertemuan yang lalu dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih tentang konsekuensi memurnikan ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang merupakan konsekuensi utama dari syahadat kita yang kedua,
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rasul utusan Allah.”
Pengakuan mencintai atau setia mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ibnul Qayyim rahimahullahu ta’ala mengatakan bahwa sungguh sangat mengherankan jika kemudian ada orang yang mengaku bahwa dia telah mengutamakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencintai beliau dengan kecintaan yang sempurna, padahal kesungguhannya dan perhatian besarnya hanya ditujukan untuk kesibukan membahas perkataan manusia selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya sibuk mengumpulkan pendapat-pendapat manusia, menetapkannya bahkan membelanya mati-matian, ridha dengan perkataan-perkataan tersebut menjadikannya sebagai sandaran hukum bahkan ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun dijadikan ukurannya ucapan manusia atau orang-orang yang dikaguminya.
Ini keadaan yang sangat bertentangan dengan apa yang diakui oleh orang tersebut. Yakni orang yang mengaku benar-benar mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, harusnya dia menjadikan ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai ukuran dari ucapan manusia lainnya. Dia hanya menerima ucapan manusia kalau sesuai dengan dalil dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dijadikan sebaliknya.
Dalam setiap urusan setiap agama kita ketahui selalu ada orang yang berlebih-lebihan dan kurang. Ini kaidah yang berlaku dalam semua urusan agama. Mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kemuliaan besar yang InsyaAllah disepakati oleh setiap kaum muslimin. Tapi apakah semua benar dalam pengakuan tersebut?
Setiap Allah memerintahkan satu perintah kepada manusia, maka setan memiliki dua cara untuk memalingkan manusia dari perintah itu. Manusia digoda untuk kurang dan malas. Inilah orang-orang yang berpaling dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan mereka berani menggunakan akalnya sendiri padahal belum memiliki pengetahuan tentang sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau memahami sunnah hanya dengan pertimbangan akal dan perasaannya. Orang-orang yang meremehkan, tidak mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menempatkannya pada tempat yang layak dan mulia. Inilah orang-orang yang kurang dan malas dalam berpegang teguh dengan sunnah.
Ada golongan yang kedua yang selalu berlebih-lebihan dan melampaui batas. Dan setan tidak peduli dari mana saja dari dua cara ini yang berhasil diterapkannya pada manusia. Maksudnya orang yang kedua ini adalah orang yang mengaku mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tapi dia berlebih-lebihan. Bahkan menjadikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam misalnya memiliki sifat-sifat ketuhanan sehingga dijadikan sembahan selain Allah, kuburannya dijadikan tempat tawaf, padahal dalam Islam kita ketahui tawaf hanya dilakukan di Ka’bah, di Masjidil Haram. Orang yang menganggap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam punya kemampuan memberikan kemadharatan, mencegah keburukan. Akhirnya mereka meminta-minta kepada kuburannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ini jelas-jelas merupakan kesyirikan dan sangat diperani oleh beliau sendiri.
Sekarang yang kita bahas adalah orang-orang yang mengaku mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ingin memurnikan mengikuti petunjuk beliau, tapi kenapa orang ini justru menyibukkan diri dengan membahas perkataan manusia? Tidak menyembuhkan diri membahas hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menetapkan perkataan itu, membahasnya, kemudian bahkan marah membelanya mati-matian, ridha dengan ucapan-ucapan manusia itu, berhukum kepadanya, bahkan menjadikan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam harus dicocokkan dengan pendapat orang yang dikaguminya tersebut.
Kalau dia dapati sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan pendapat yang tadi dibelanya, baru diterima hadits tersebut. Kalau ternyata hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi, maka dia berusaha mencari cara untuk merekayasa agar bisa dicocok-cocokkan. Kemudian dia akan menolaknya dan berpaling darinya. Orang-orang yang fanatik dengan ucapan tertentu ketika dibawakan dalil, dia akan beralasan bahwa tidak mungkin imam saya tidak mengerti dalil tersebut, tidak mungkin ulama ini tidak paham dalil.
Kalau seandainya semua ulama memahami dalil dengan benar, tidak akan ada perbedaan pendapat diantara mereka. Kemudian juga kalau seandainya mereka memahami semua petunjuk Allah, maka mereka berarti bukan manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Sementara manusia mesti ada lalainya, ada lupanya. Apalagi kemudian misalnya ulama-ulama yang datang belakangan kemudian mengumpulkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mungkin ulama sebelumnya hadits-hadits tersebut belum sampai kepadanya sebagian dari dalil. Maka bagaimana kita mengatakan dia telah mengetahui semuanya? Apa gunanya para ulama mengatakan seperti ucapan yang terkenal dari Imam Malik bin ‘Anas rahimahullahu ta’ala yang menyatakan,
لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ ، إِلَّا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Siapapun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pendapatnya layak diambil atau ditolak. Kecuali keterangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”
Semua orang, ada yang dia ketahui ada yang tidak. Oleh karena itu kita mengikuti para ulama, kita jadikan mereka sebagai sebab untuk bisa memahami dalil. Ketika kita meninggalkan terhadap satu ulama dan mengambil pendapat ulama yang lain, itu bukan menghinakan ulama tersebut. Tapi justru menempatkan dia pada tempatnya. Selama bukan kita bantah dengan pendapat pribadi kita karena kita orang yang belum setingkat dengan mereka. Kita bantah dengan pendapat ulama lain yang menyertakan dalil dari sanggahannya tersebut, kita berpegang teguh dengan pendapat yang didukung dengan dalil ini, itulah yang namanya ‘ittiba, memurnikan sikap kita, selalu mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan inilah makna mencintai beliau dengan sebenarnya.
Simak penjelasannya pada menit ke – 10:48
Simak Kajian Lengkapnya, Download dan Sebarkan mp3 Ceramah Agama Islam Tentang Setia Mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – Kitab Ar-Risalah At-Tabukiyyah
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/46400-setia-mengikuti-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam/